Rabu, 02 Desember 2009

Jejak Suci, Safar Rohani

Jejak Suci, Safar Rohani
Oleh: Soffa Ihsan

Seluruh seremoni haji sesungguhnya menapaktilas perjalanan Nabi Ibrahim. Ibrahim bukan saja Bapak tauhid yang ditugaskan membersihkan rumah Tuhan dari kemusyrikan, tetapi juga sebuah teladan (matsal al-a’la) dari seorang manusia yang memilih untuk berangkat menuju Tuhan.

Dengan meneladani Ibrahim, saudara-saudara kita, tanpa peduli usia dan kesehatan, abai kesibukan dan pekerjaan, tanpa hiraukan keluarga dan kawan-kawan, meninggalkan Tanah Airnya, berangkat menuju Baitullah.

Inilah syarat yang harus dipenuhi oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Perjalanan menuju Tuhan harus dimulai dengan menanggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Lihatlah jamaah haji yang harus mandi sebelum mengenakan kain ihram, sungguh mereka yang hendak berangkat menuju Tuhan harus membersihkan diri dari segala kenistaan yang mereka lakukan, baik dalam sunyi senyap maupun dalam hiruk pikuk, baik dalam temaram maupun yang benderang.

Safar Rohani
Begitulah, haji adalah safar rohani menuju Allah. Menurut al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterbelengguan kepada hawa nafsu. Sejarah mewartakan, dulu untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan negerinya, mengembara dengan mengemban berbagai kesulitan. Mereka hidup bersahaja sembari merendahkan dirinya dihadapan kebesaran Allah. Mereka berpakaian awut-awutan dan berpenampilan kusut masai, berkelana menjejaki perjalanan panjang mencari Tuhan.

Manakala Nabi Muhammad ditanya tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata, ”Allah sudah menggantikannya untuk kamu dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Maksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Ya, dalam ibadah haji, setiap muslim menjalani kehidupan kependetaan.

Panggilan untuk kembali kepada Allah tak semata diembankan (khithab) pada jamaah haji. Panggilan itu juga ditujukan pada kita semua. Suatu saat, mau atau tidak mau, Tuhan akan mengambil nyawa kita dan memaksa kita kembali kepada-Nya.

Seperti halnya jamaah haji, kita harus wukuf lebih dahulu dihadapan Allah. Kita harus mulai perjalanan kembali kepada-Nya dari Arafah. Arafah artinya pengakuan atau pengenalan. Kita mengaku dihadapan Allah bahwa selama ini kita menjadi pengembara yang tersesat. Kita akui segala kesalahan di Arafah. Lalu, kita mendekat kepada Allah di Muzdalifah. Kita sembelih tengkuk nafsu dan kerakusan ketika kita menyembelih dam. Kita lemparkan syahwat, kerendahan, kekejian dan segala perbuatan tercela saat melempar Jumrah.

Kita kenakan pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati dan kekhusyukan. Kita berihram dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi diri kita untuk mengingat Allah dan menaati-Nya. Kita bertalbiyah dengan menjawab panggilan Allah secara ikhlas, suci, bersih, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh (wa’tashimu bi hablillah).

Kita bertawaf dengan sepenuh hati sebagaimana kita bertawaf dengan jasad kita ditengah-tengah lautan manusia di sekitar Baitullah. Kita hanya berharap ridha ilahi dengan melupakan segala kemegahan duniawi.

Kita tercenung betapa berulang-ulang kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, ternyata hanya fatamorgana yang menyilap mata. Kita jadi kelelahan. Lalu, kita berhenti sejenak di tengah padang pasir. Kita adukan segala kealpaan dan kesalahan kita kepada-Nya.

Selama ini, kita yakin bahwa kekayaan adalah tujuan hidup kita, sehingga kita rela melakukan apa saja. Kita habiskan waktu kita untuk mengumpulkan kekayaan. Kita rampas dan hancurkan milik orang lain. Atau kita injak-injak hak orang lemah. Semuanya demi jabatan dan kekayaan. Lalu, kita gagap ternyata kekayaan tidak memuaskan kehausan kita.

Bukankah kita juga pernah menyangka bahwa jabatan adalah kejaran kita. Untuk itu, kita hantam kawan seiring. Kita fitnah orang-orang yang pernah berjasa kepada kita. Kita korbankan persahabatan dan kekeluargaan. Kita enyahkan cinta dan kasih sayang. Kita curang, culas dan khianat.

Boleh jadi, kita telah bekerja keras mengejar apa saja, tetapi tidak secuil kesuksesan kita dapatkan. Pengorbanan sudah terlampau kita kucurkan. Kita cari kekayaan, tapi kita masih juga miskin. Kita tuntut kedudukan, tapi kita seperti semula, tetap orang kecil. Kita kejar popularitas, tapi kita tetap saja kerdil. Kita sudah banting tulang, peras keringat untuk memburu cita-cita beragam, nyatanya kita masih saja tersungkur dalam kehidupan.

Kita sudah kelelahan. Sejenak kita harus wukuf. Kita berhenti sejenak di hamparan sahara kehidupan kita. Kita rebahkan diri dihadapan Tuhan. Kita menangis. Usai wukuf, kita pergi menuju Mina. Di sana, kita lempari setan dengan batu-batu keimanan kita.

Kemudian, kita menuju Baitullah. Kita habiskan sisa umur kita untuk berputar di sekitar Baitullah. Kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagi-bagikannya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Tidakkah Allah berfirman,”Dekatilah Aku ditengah-tengah orang-orang kecil diantara kamu. Temui Aku ditengah-tengah orang yang menderita.”

Kita persembahkan kedudukan kepada Tuhan dengan tujuan melindungi orang-orang mustadh’afin. Kita syukuri anugerah Tuhan dengan berusaha membahagiakan sesama manusia. Semoga, kita bisa bergabung dengan jamaah haji yang memperoleh haji mabrur, sa’i yang masykur dan ikhtiar yang tak pernah tersandung rugi.

Menapaki jalan menuju ketelanjangan diri, tanpa topeng dan segala onak yang membuat diri kita terhadang oleh kemunafikan. Demikianlah, haji menjadi medium bagi kita untuk terus merenungi diri demi menggapai kesadaran yang paripurna (al’wa’yu al’ulya), sehingga kita siap bergegas mewujudkan dalam perilaku keseharian yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (mashalih al’ammah).

2 komentar:

  1. Matur nuwun Gus, sanes wekdal mohon wejanganipun njih!

    BalasHapus
  2. Gus mohon sumbangan untuk tulisan, Kami semua terima kasih atas didikan dan asuhannya

    BalasHapus

MKMM Blora terbuka untuk anda, Please write something hereunder :