Jumat, 04 Desember 2009

Mencari Pemimpin

Mencari  Pemimpin
Oleh: Soffa Ihsan

     Mungkin ada banyak definisi tentang kepemimpinan. Setiap dari kita dapat menghadirkan definisi tersendiri soal kepemimpinan. Dalam khazanah ilmu sosial, ada semacam aksioma tentang pemimpin, yaitu ada pemimpin yang dilahirkan, ada pemimpin yang diciptakan, tetapi ada juga pemimpin yang tidak dibutuhkan.
     Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dengan keragamannya, tentu memerlukan pribadi pemimpin yang tepat. Lebih-lebih, saat ini diharapkan lahir pemimpin yang mampu meretas jalan menuju Indonesia yang sentosa ditengah terpaan krisis ekonomi global.

Siyasah dan Kepemimpinan
     Bidang siyasah atau politik memang sensitif sekali. Padahal, kehidupan manusia selamanya sarat dengan nuansa siyasah. Ruang gerak siyasah ini tentu tidak bisa ditilik dari satu visi saja. Visi eksternal yang dikedepankan komunitas yang berada diluar garis "Islam" (kuffar-musyrik) tidak bisa remehkan. Begitu pula, secara internal dalam batas lintas sekte (mazhab, firqah) dalam Islam. Visi eksternal ini tampak dari kisah yang dituturkan oleh Ibn al-Atsir berikut.
     Afif al-Kindi, salah seorang pedagang, pernah datang ke Mekah pada satu musim haji. Ia menyaksikan seorang laki-laki (maksudnya Nabi Muhammad Saw.) sedang shalat menghadap kiblat, disusul seorang perempuan (Siti Khadijah) dan seorang pemuda (Ali ibn Abi Thalib). Kemudian, Afif bertanya kepada Abbas, Paman Nabi Saw, yang saat itu belum masuk Islam: Agama apa ini? Jawab Abbas, “Ini Muhammad ibn Abdillah, keponakanku, dan dia mengaku sebagai utusan Allah yang berobsesi menggulingkan Persia dan Romawi”.
     Sepeninggal Rasulullah, salah satu persoalan penting yang belum diwasiatkan secara tegas adalah masalah “khilafah”. Yakni, berkaitan dengan eksistensi beliau sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi sosial-politik di Madinah. Posisi beliau sebagai pembawa risalah ilahiyyah jelas telah ditegaskan beliau dalam berbagai pesannya, terutama dalam khutbah Haji Wada di Arafah. Dengan sharih, beliau berpesan bahwa sepeninggal beliau, ada dua hal yang mampu menyelamatkan umat Islam dari bencana dan kesesatan yakni al-Quran dan Sunnah. Statemen ini dikuatkan pula dengan wahyu yang terakhir turun, yakni Surah al-Maidah ayat 3. Jadi dalam posisi ini, beliau tidak membutuhkan pengganti atau khalifah
     Sedangkan untuk urusan siyasiyah, secara definitif tidak ada calon pengganti Nabi Muhammad. Masalah ini justru menawarkan angin segar bagi terciptanya pola kepemimpinan kolektif pasca Rasulullah yang demokratis di saat bangsa-bangsa lain di belahan dunia lainnya justru mengembangkan budaya dinastik dan kekuasaan diktator.
     Namun, pola kepemimpinan demokratis yang mentolerir munculnya perbedaan pendapat, jelas suatu konsumsi baru bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab, karena masih kukuhnya primordialisme dan fanatisme rasial. Maka, sangat wajar jika baru beberapa saat setelah Nabi Saw. wafat, bahkan belum sempat mengurus jenazah Nabi Muhammad sudah berkembang isu suksesi. Dalam situasi duka, para sahabat sudah mengadakan rapat di Saqifah Bani Sa’idah. Pertemuan yang terdiri dari golongan Anshar dari Suku Aus dan Khazraj dan Muhajirin itu diwarnai silang pendapat yang mengunggulkan calon masing-masing “Minna amir wa minkum amir” (Kalian punya pemimpin, kami juga punya pemimpin) adalah ungkapan krusial dari tajamnya perbedaan tersebut. Ketegangan pun mereda setelah mereka sepakat membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah.
     Keputusan ini masih "lonjong", karena tidak semua kaum muslimin berpartisipasi ataupun menyepakati terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Realitas menunjukkan, Ali ibn Abi Thalib dan istrinya, Fatimah binti Nabi Saw. serta beberapa sahabat dari keluarga Bani Hasyim belum menyatakan bai'at (pernyataan loyalitas) kepada khalifah terpilih. Ali baru menyatakan bai'at enam bulan kemudian setelah Fatimah wafat. Reaksi lain yang lebih ekstrem muncul dari sejumlah suku-suku Arab. Mereka menyatakan menolak kepada pemerintahan yang baru. Singkatnya, di sejumlah daerah pinggiran kekuasaan Islam keresahan semakin marak.
     Sementara, daerah yang masih stabil, yaitu Madinah, Mekah dan Thaif. Pihak penduduk Madinah merasa sudah terwakili dalam kesepakatan Saqifah Bani Sa'idah, selain tentunya juga karena ikatan doktrinal (aqidah) dengan Nabi. Penduduk Mekah sendiri tidak murtad karena janji perolehan ghanimah (rampasan perang) yang akan mereka peroleh. Sedangkan penduduk Thaif juga tidak membangkang pada kekuasaan, karena adanya hubungan darah atau kekerabatan dengan masyarakat Mekah, yakni sama-sama berasal dari Suku Quraisy.
     Situasi kritis ini segera dapat diatasi oleh kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dalam tempo relatif cepat, sampai wafat pada tahun 13 H. Kesuksesan Abu Bakar dibuktikan pula dengan mulusnya suksesi khalifah berikutnya melalui sistem pengangkatan yang diwasiatkan Khalifah Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab.

Kriteria Pemimpin
     Persoalan kepemimpinan dalam Islam memang dipandang cukup rumit. Sebabnya, tidak dijumpai ajaran baku secara langsung tentang konsep kepemimpinan. Apakah ia khilafah, imamah atau istilah lainnya. Sebaliknya, yang paling menonjol adalah pada nilai, etika dan prinsip-prinsip serta esensi, dan bukan pada model kepemimpinannya. Tidak perlu terlalu banyak memberikan syarat kepada calon pemimpin, asalkan seorang pemimpin adalah orang mempunyai keunggulan dari pada kebanyakan yang lain, berpengetahuan luas serta tidak bersifat otoriter.
     Kriteria pemimpin menurut Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, adalah yang kokoh iman dan takwanya, mulia akhlaknya, mampu bersikap adil dan jujur, berilmu dan cerdas (fathonah), berkompeten, konsekuen memikul tanggung jawab (amanah), sehat jasmani dan rohani, memiliki keberanian menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Syarat terakhir, yaitu keberanian, karena tanpa keberanian, segala sifat-sifat terdahulu tidak akan dapat dijalankan secara efektif.
     Saya hanya ingin menandaskan bahwa pemimpin yang ideal adalah yang memiliki kriteria al-Kafa’ah, yaitu pemimpin perlu memiliki sikap yang proporsional dalam berfikir, bersikap dan bertindak, al-Ta’ahul, yaitu pemimpin harus memiliki profesionalitas, al-Infitah, yaitu pemimpin harus punya sikap terbuka atau transparan dalam semua hal, al-Ta’awun ‘ala al-Birri, yaitu pemimpin harus sigap dalam soal memberikan pertolongan kepada umat dalalm kemashlahatan bersama., al-Ihsan, yaitu pemimpin yang selalu bertindak dalam kebijakan yang baik demi kemashlahatan umat, dan al-Mas’uliyah, yaitu pemimpin yang selalu bertanggungjawab, memiliki akuntabilitas yang tinggi.
     Akhirnya, menarik untuk disampaikan kata-kata dari Imam Syafi’i, ” Hubungan negara dengan rakyat ibarat hubungan wali dengan anak yatim.”

1 komentar:

  1. Ok Gus, Mang sementara in Indonesia butuh Pemimpin yang JUJUR & ADIL. Semoga muncul Pemimpin yang kita harapkan Amiin...

    BalasHapus

MKMM Blora terbuka untuk anda, Please write something hereunder :